BUT KS Ltd. mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN Masa Pajak Juli 2014 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sengketa senilai Rp. 2.336.030,00 ini berpusat pada hak pengkreditan Pajak Masukan (PM) atas biaya operasional (sewa kantor, jasa konsultan, utilitas) pada periode di mana KS Ltd. tidak memiliki Pajak Keluaran (PK) alias Nihil. DJP bersikeras bahwa penolakan PM dan pengenaan sanksi kenaikan 100% sesuai Pasal 13 Ayat (3) UU KUP adalah tindakan yang tepat karena PM tersebut dianggap tidak memiliki hubungan langsung dengan penyerahan yang terutang PPN, sesuai amanat Penjelasan Pasal 9 Ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN.
Perbedaan utama dalam konflik ini terletak pada interpretasi frasa "hubungan langsung dengan kegiatan usaha". DJP berargumen bahwa KS Ltd., yang telah Nihil penjualan sejak tahun 2009 dan beroperasi layaknya kantor penghubung, tidak memenuhi kriteria pengkreditan PM karena ketiadaan PK pada periode sengketa. Konsekuensinya, PM yang dikreditkan harus dibayar kembali. DJP juga mengindikasikan bahwa status perusahaan mendekati kondisi "gagal berproduksi" sesuai Pasal 9 Ayat (6a) UU PPN.
Di sisi lain, KS Ltd., melalui Kuasa Hukumnya, membantah keras koreksi tersebut. KS Ltd. berpendapat bahwa biaya operasional ini merupakan bagian integral dari upaya mempertahankan kelangsungan kegiatan usaha yang sah dan prospektif. Dokumen dan argumen KS Ltd. menunjukkan adanya proyek terutang PPN di masa lalu (2007-2008) dan rencana proyek strategis lainnya (JO Metro One di 2015), yang membuktikan bahwa mereka tidak gagal berproduksi melainkan berada dalam fase persiapan. Menurut KS Ltd., PM yang dikeluarkan untuk sustaining perusahaan agar dapat menghasilkan PK di masa depan tetap memiliki kaitan fungsional dan material dengan kegiatan usaha, sehingga berhak dikreditkan.
Menanggapi argumentasi kedua pihak, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding KS Ltd. Pertimbangan hukum Majelis secara tegas menguatkan pandangan DJP, yakni mengutamakan prinsip materialitas dalam pengkreditan PM. Majelis berpegangan pada Penjelasan Pasal 9 Ayat (8) huruf b UU PPN yang mewajibkan adanya kaitan PM dengan penyerahan yang terutang PPN. Karena KS Ltd. tidak dapat membuktikan bahwa PM yang dikreditkan pada Masa Pajak Juli 2014 akan menghasilkan PK pada periode tersebut atau periode yang berdekatan, Majelis menilai syarat material pengkreditan tidak terpenuhi. Penolakan pokok pajak ini secara otomatis menguatkan sanksi administrasi kenaikan 100%.
Implikasi dari Putusan ini sangat penting bagi entitas asing (BUT) dan PKP yang sedang berada dalam fase idle atau pre-operating. Putusan ini menjadi preseden yang sangat ketat, menekankan bahwa "hubungan langsung" harus diterjemahkan sebagai korelasi yang jelas antara PM dan outcome berupa PK, bukan hanya kaitan dengan manajemen atau keberlanjutan usaha secara umum. Pelajaran utama bagi Wajib Pajak adalah: di tengah Nihilnya Pajak Keluaran, risiko menanggung PM beserta sanksi kenaikan 100% atas pengkreditannya sangat tinggi, sehingga strategi pembiayaan PM (menjadikan biaya) mungkin lebih aman dibandingkan mengkreditkannya.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini