Regulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 secara eksplisit membatasi Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak (SKP) yang tidak benar paling banyak dua kali, sebuah ketentuan yang memicu sengketa formal di Pengadilan Pajak. Dalam Putusan Nomor PUT-011048.99/2021/PP/M.XVIB Tahun 2025, Penggugat (PT BSM) mengajukan gugatan terhadap Keputusan DJP berupa Surat Pengembalian Permohonan atas permohonan ke-3 yang diajukan. Tindakan gugatan ini dilakukan dengan maksud utama untuk membatalkan SKPKB PPN yang mendasari permohonan, dengan berargumen bahwa batasan dua kali pengajuan dalam PMK bertentangan dengan Pasal 36 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mengedepankan asas keadilan.
konflik dalam perkara ini bukan terletak pada substansi koreksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) itu sendiri, melainkan pada legalitas formal pengembalian permohonan yang ke-3. Penggugat berkeyakinan bahwa ketentuan di tingkat PMK tidak boleh membatasi hak Wajib Pajak yang dijamin oleh UU KUP, dan menegaskan bahwa SKPKB tersebut cacat prosedur karena diterbitkan sebelum jangka waktu tanggapan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) berakhir. Sebaliknya, Tergugat (DJP) mempertahankan tindakan administratifnya yang mengacu pada Pasal 15 ayat (5) PMK 8/PMK.03/2013, di mana permohonan ke-3 harus dikembalikan karena melampaui batas maksimal. DJP berpegangan pada prinsip kepastian hukum dan tertib administrasi yang diatur dalam peraturan pelaksana.
Dalam pandangannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara cermat mengaplikasikan prinsip yurisdiksi. Majelis berpendapat bahwa objek gugatan adalah Keputusan Administratif Non-SKP, yaitu Surat Pengembalian Permohonan yang hanya memutus aspek formal. Berdasarkan Pasal 40 ayat (6) UU Pengadilan Pajak, kewenangan Majelis terbatas pada pemeriksaan dan pemutusan hal-hal yang termuat dalam keputusan yang digugat. Tuntutan Penggugat yang meminta pembatalan SKPKB PPN (isu material) dinilai tidak sesuai dengan lingkup Keputusan yang digugat (isu formal).
Analisis Putusan ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara objek yang digugat dengan tuntutan final Penggugat. Upaya Wajib Pajak untuk memanfaatkan gugatan formal sebagai pintu masuk untuk menguji substansi material SKP dianggap tidak memenuhi syarat. Konsekuensi dari ketidakjelasan ini adalah bahwa Majelis menyatakan gugatan sebagai obscuur libel atau gugatan yang tidak jelas. Implikasi putusan ini mempertegas pentingnya Wajib Pajak untuk memilih jalur upaya hukum yang tepat. Jika tujuannya adalah membatalkan SKP secara material, gugatan atas keputusan formal administratif yang menolak permohonan ke-3 bukan merupakan jalur yang efektif dan berisiko tinggi untuk berakhir dengan putusan Tidak Dapat Diterima.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini