PT ABC menghadapi momen krusial di Pengadilan Pajak dalam upayanya membatalkan koreksi PPh Final Pasal 4 ayat (2). Namun, dalam kisah banding yang penuh drama hukum ini, Majelis Hakim akhirnya memutuskan menolak permohonan mereka, sebuah putusan yang berakar pada satu hal fundamental: kegagalan pembuktian dan ketidakhadiran di persidangan.
Pertempuran hukum ini bermula dari Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk Masa Pajak Desember 2020. Setelah proses keberatan, sengketa menyusut namun tetap menyisakan angka yang signifikan.
Pusat konflik adalah DPP PPh Pasal 4 ayat (2) senilai Rp30.011.774.234,00. Di mata Direktur Jenderal Pajak (Terbanding), angka ini mencerminkan penghasilan dari pengalihan aset yang belum dikenakan PPh Final, dan karenanya, belum dipungut dan dilaporkan.
PT ABC bersikeras bahwa koreksi ini keliru. Mereka mengklaim bahwa seluruh transaksi pengalihan aset yang dipermasalahkan telah dipotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) pada tahun 2020. Mereka juga menyerang prosedur DJP, menuduh koreksi hanya didasarkan pada hitung-hitungan Ekualisasi yang melanggar standar dan landasan hukum pemeriksaan.
Saat kasus bergulir ke Pengadilan Pajak, DJP memasang pertahanan kuat. Mereka menanggapi serangan prosedural PT ABC dengan berargumen bahwa landasan hukum mereka sudah tepat, yaitu PER-23/PJ/2013.
Namun, senjata utama DJP adalah isu kepatuhan: PT ABC tidak pernah memenuhi permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen secara lengkap selama proses pemeriksaan maupun keberatan. Hal ini mengaktifkan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang KUP, yang memungkinkan bukti yang baru diserahkan saat banding untuk tidak dipertimbangkan.
Momen penentuan terjadi di ruang sidang. Pengadilan Pajak memberi kesempatan kepada PT ABC untuk memverifikasi dan membantah dalil DJP dengan bukti-bukti pendukung yang indisputable.
Namun, selama proses pengujian bukti, sebuah drama tak terduga terjadi: PT ABC tidak menghadiri tiga kali persidangan berturut-turut tanpa alasan yang jelas.
Bagi Majelis Hakim, kursi kosong ini adalah titik balik.
"Dalil dan bukti-bukti yang disampaikan oleh PT ABC tidak dapat diverifikasi keabsahannya oleh Pengadilan Pajak, yang oleh karenanya tidak dapat diyakini kebenarannya..."
Terlebih lagi, PT ABC gagal menanggapi dalil yuridis DJP terkait Pasal 26A ayat (4) UU KUP. Dengan tidak dapat diyakininya kebenaran dalil PT ABC, Majelis Hakim menggunakan keyakinan dan penilaian pembuktiannya.
Berdasarkan kegagalan pembuktian dan ketidakhadiran yang berkelanjutan, Pengadilan Pajak berkesimpulan untuk tetap mempertahankan koreksi DJP atas DPP PPh Pasal 4 ayat (2).
Pada akhirnya, Pengadilan Pajak memutuskan MENOLAK BANDING PT ABC. Putusan ini secara final menguatkan DPP PPh Pasal 4 ayat (2) PT ABC menjadi Rp33.538.369.385,00, menutup kisah sengketa pajak yang berawal dari koreksi atas pengalihan aset.