PT TBSM merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dalam memenuhi berbagai pekerjaan operasional seperti panen, perawatan kebun, dan pekerjaan harian, yang dibayarkan secara bulanan membutuhkan tenaga kerja lepas (pekerja borongan). Melakukan pengajuan banding koreksi PPh Pasal 21 atas biaya tenaga kerja borongan tersebut sebesar Rp597.041.631,00. PT TBSM menyanggah tanggapan DJP yang merujuk pada Pasal 1 angka 11 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 (PER-16), dan Pasal 9 ayat (1) huruf a PER-16 mengenai penghasilan kumulatif pegawai tidak tetap (termasuk tenaga kerja lepas) Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang. Bahwa secara substansi, upah yang dibayarkan kepada pekerja borongan berada di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bulanan (Rp4.500.000,00) sehingga seharusnya bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21.
Namun, sayangnya PT TBSM tidak memenuhi administrasi perpajakan yang menjadi titik konflik dalam pengajuan banding ini. DJP mendasarkan koreksinya pada hasil ekualisasi antara total biaya gaji/upah yang dikurangkan dalam PPh Badan dengan objek PPh 21 yang dilaporkan PT TBSM. Penggunaan teknik ekualisasi dilakukan oleh DJP karena PT TBSM tidak mampu menyajikan rincian data dan bukti potong PPh Pasal 21 yang memadai selama proses pemeriksaan. Secara prosedural, DJP telah mengirimkan surat permintaan peminjaman dokumen dan dua kali surat peringatan, hingga pada tahap Berita Acara Tidak Dipenuhinya Sebagian Peminjaman seperti SPT Masa PPh Pasal 21 beserta lampiran, bukti pemotongan, dan SSP, Surat Perjanjian/Kontrak terkait pengeluaran, Seluruh bukti terkait dengan pengeluaran, Rekap/rincian penghitungan PPh Pasal 21 karyawan dan honor tenaga ahli, serta Ekualisasi objek PPh Pasal 21 dengan biaya di laporan keuangan.
Atas respon yang tidak dipenuhi oleh PT TBSM sebagaimana yang dimintakan, DJP menerapkan Pasal 26A ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yaitu menolak untuk mempertimbangkan bukti-bukti yang baru disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat proses keberatan. DJP berpendapat bahwa penerimaan bukti baru tersebut akan melanggar kepastian hukum dan memberikan celah bagi Wajib Pajak yang tidak kooperatif. Meski demikian, PT TBSM melakukan upaya dengan membuktikan kebenaran substansinya di Pengadilan Pajak, berdasarkan kewenangan Hakim (Pasal 76 dan 78 UU PP) untuk menguji bukti baru dan menggunakan keyakinan dalam memutus duduk perkara.
Pertimbangan koreksi yang diajukan oleh DJP menjadi pilihan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan tegas dalam penguatan pertimbangan proseduralnya. Majelis Hakim menyatakan bahwa merujuk pada bukti surat formal yang disajikan oleh DJP, membuktikan PT TBSM telah lalai memenuhi kewajiban peminjaman dokumen yang menjadi dasar yang crucial saat pemeriksaan. Dengan penegasan Pasal 26A ayat (4) UU KUP, Majelis memutuskan bahwa bukti yang terlambat tersebut tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan. Alhasil, pengajuan banding PT TBSM ditolak seluruhnya yang gagal dalam memenuhi beban pembuktiannya untuk membantah koreksi DJP, dan koreksi yang didasarkan pada teknik ekualisasi secara otomatis dibenarkan.
Putusan ini memberikan implikasi bahwa kepatuhan terhadap kewajiban dokumentasi pada tahap pemeriksaan adalah kunci untuk memenangkan sengketa di tingkat litigasi. Meskipun, argumen substansi yang kuat (misalnya upah di bawah PTKP), kegagalan prosedural dalam menyajikan bukti awal akan menghambat Wajib Pajak untuk mempertahankan argumennya, karena bukti tersebut akan ditolak sejak tingkat keberatan hingga banding. Pembelajaran utama adalah pentingnya manajemen dokumen yang profesional dan respons yang kooperatif, cepat, dan komprehensif terhadap setiap permintaan Pemeriksa, guna menjaga hak pembuktian di tingkat litigasi.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini