Kepastian hukum mengenai penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi menjadi isu krusial yang kembali ditegaskan oleh Pengadilan Pajak, dimana status legal formal penyedia jasa merupakan penentu utama klasifikasi perpajakannya, bukan semata-mata substansi pekerjaannya. Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, penghasilan dari usaha jasa konstruksi memang dikenakan PPh Final, namun putusan ini menyoroti diskrepansi implementasi antara ketentuan umum PP tersebut dengan peraturan pelaksana di bawahnya. Putusan Nomor PUT-011953.25/2020/PP/M.IVB Tahun 2025 yang mengabulkan seluruhnya banding PT ESG telah membatalkan koreksi PPh Final yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena PT ESG telah memenuhi kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 atas vendor yang tidak memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU).
Inti konflik sengketa ini berakar pada koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Final Pasal 4 ayat (2) senilai Rp188.795.250,00 oleh DJP. DJP mengklaim seluruh transaksi dari keseluruhan DPP tersebut merupakan pelaksanaan konstruksi dan mengenakan PPh Final 4% bagi penyedia jasa tanpa kualifikasi sebagaimana diatur dalam PP tentang Jasa Konstruksi. DJP berpegangan pada substansi transaksi dan ketersediaan tarif PPh Final untuk jasa konstruksi yang tidak memiliki kualifikasi usaha. Namun, PT ESG dengan tegas membantah klasifikasi ini. PT ESG berargumen bahwa pembayaran jasa dilakukan kepada pihak yang tidak memiliki sertifikat badan usaha (SBU) dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), sehingga merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 141/PMK.03/2015, jasa tersebut wajib dikategorikan sebagai Jasa Lain yang terutang PPh Pasal 23.
Dalam resolusinya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara eksplisit mendukung argumen PT ESG. Pertimbangan Majelis berfokus pada pentingnya status hukum penyedia jasa berdasarkan PMK 141/PMK.03/2015. Jika vendor tidak memiliki izin dan/atau sertifikasi resmi sebagai pengusaha jasa konstruksi, maka jasa yang mereka berikan secara otomatis tidak terkait PPh Final Jasa Konstruksi dan kembali digolongkan sebagai PPh pemotongan tidak final, yaitu PPh Pasal 23. Ketiadaan SBU menjadi bukti kuat bahwa penerima penghasilan bukan merupakan subjek PPh Final Jasa Konstruksi. Terlebih, karena PT ESG terbukti telah memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 23 atas objek yang sama, Majelis berpendapat bahwa pengenaan PPh Final akan menimbulkan pajak berganda, suatu hal yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan.
Implikasi Putusan ini sangat signifikan bagi setiap Wajib Pajak pengguna jasa yang kegiatannya mencakup instalasi, perbaikan, atau pemeliharaan. Putusan ini menjadi preseden kuat yang menegaskan bahwa formalitas sertifikasi adalah syarat material dalam menentukan jenis PPh yang tepat. Strategi kepatuhan yang harus dipegang teguh Wajib Pajak adalah memprioritaskan dokumen kualifikasi vendor. Jika SBU tidak tersedia, kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 harus diterapkan untuk menghindari risiko koreksi PPh Final di tahap pemeriksaan dan litigasi, yang berpotensi diikuti sanksi administrasi. Kepastian dan keadilan dalam pemotongan pajak hanya dapat tercapai melalui ketelitian Wajib Pajak dalam mengklasifikasikan status legal vendor dan memenuhi kewajiban pemotongan yang paling sesuai dengan peraturan pelaksana yang berlaku.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini