Pembuktian material dan substantif dalam sengketa ekualisasi khususnya Pajak Penghasilan Pasal 23 terjadi oleh PT AI. Dalam temuannya, DJP mendasarkan koreksinya merujuk pada selisih matematis antara akun biaya di General Ledger (GL) PT AI dengan nilai DPP yang dilaporkan di SPT Masa PPh Pasal 23 Masa Pajak September 2016, tanpa mempertimbangkan kompleksitas pengakuan biaya dan saat terutangnya pajak. Hal ini membuat PT AI mendapatkan peluang atas ketidakmampuan otoritas pajak untuk secara spesifik membuktikan transaksi jasa yang belum dipotong dalam membatalkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Pasal 23 sejumlah Rp9.022.733.270,00.
Sengketa ini berpusat pada perbedaan penafsiran “jumlah bruto” PPh Pasal 23 serta isu mengenai beban pembuktian. DJP berpegangan pada Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, yang memberi hak kepada DJP untuk memberlakukan pemotongan atas full gross apabila PT AI tidak dapat memisahkan secara jelas komponen non-jasa, seperti penggantian biaya (reimbursement) atau pembelian material, dari imbalan jasa. DJP mendasarkan keputusannya untuk mempertahankan koreksi pada tidak terpenuhinya permintaan bukti rinci oleh PT AI selama tahap keberatan.
Kendati demikian, PT AI memberikan pembelaan yang terstruktur dengan menyajikan tiga faktor kunci yang menyebabkan selisih tersebut, yang mana atas semua komponen tersebut bukan merupakan komponen objek PPh Pasal 23 yang terutang. Adapun tiga faktor tersebut diantaranya adalah: (1) Komponen non-objek, seperti pembelian barang dan reimbursement yang tercampur dalam akun jasa, yang nilainya berhasil dipisahkan dan dibuktikan oleh PT AI dalam persidangan. (2) Perbedaan waktu (timing difference) antara pencatatan biaya di GL dan saat terutangnya PPh Pasal 23, di mana PPh Pasal 23 terbukti telah dilakukan pemotongan dan dilaporkan pada masa pajak berikutnya. Adapun perbedaan waktu tersebut disebabkan karena adanya beberapa biaya yang telah dicatat di tahun 2015 namun pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan di tahun 2016 dan juga terdapat biaya yang dicatat di tahun 2016 tetapi pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan di tahun 2017. (3) Perbedaan kurs (forex difference) yang digunakan dalam pembukuan (Kurs BI) dan perhitungan pemeriksaan (Kurs KMK akhir tahun). Di mana DJP menggunakan kurs KMK pada tanggal 31 Desember 2016 yaitu sejumlah Rp13.454, sedangkan PT AI menggunakan kurs BI pada saat mencatat biaya-biaya tersebut.
Argumentasi material yang diuraikan oleh PT AI dipertimbangkan dan disetujui secara tegas oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam putusan yang dikeluarkan. Majelis membatalkan seluruh koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 23 yang dikenakan DJP. Pembatalan ini didasari penilaian Majelis bahwa koreksi yang hanya mengandalkan selisih ekualisasi, tanpa didukung bukti rinci per transaksi, telah mengabaikan fakta substansi yang diajukan PT AI. Dengan menerima rekonsiliasi tandingan PT AI yang sistematis, Majelis menyimpulkan bahwa PT AI telah sukses menjalankan beban pembuktian terbalik.
Putusan ini menekankan pentingnya bagi Wajib Pajak untuk memiliki sistem akuntansi dan dokumentasi yang sangat rinci. Hal ini mencakup pemisahan yang jelas antara biaya jasa dan non-jasa (seperti material atau reimbursement), serta pencatatan waktu pemotongan PPh Pasal 23 yang akurat, guna mencegah koreksi yang hanya didasarkan pada asumsi belaka.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini