Penyelesaian sengketa DPP PPN kembali menegaskan peran krusial dokumen transaksi spesifik dalam membuktikan keabsahan koreksi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggunakan instrumen uji ekualisasi antara Peredaran Usaha PPh Badan dan DPP PPN sebagai dasar koreksi untuk mendeteksi potensi unreported sales atau penyerahan yang PPN-nya belum dipungut. Namun, kasus banding yang diajukan oleh PT PT BSP atas SKPKB PPN Masa Januari 2018 menjadi pelajaran penting mengenai batasan kekuatan pembuktian dari hasil ekualisasi.
Pokok sengketa berpusat pada koreksi DPP sebesar Rp1.859.658.000 yang ditetapkan DJP karena adanya selisih yang ditemukan dari uji ekualisasi. DJP berargumen bahwa selisih tersebut adalah penyerahan BKP/JKP yang seharusnya terutang PPN di Masa Januari 2018 namun belum dilaporkan. Di sisi lain, PT BSP dengan tegas membantah, menjelaskan bahwa selisih tersebut merupakan timing difference yang wajar dan bukan penyerahan yang tidak dilaporkan. Menurut PT BSP, nilai PPN atas selisih tersebut sudah dibayarkan dan dilaporkan pada Masa Pajak berikutnya saat Faktur Pajak diterbitkan, sejalan dengan prinsip saat terutang PPN.
Dalam menghadapi dua argumen yang kontradiktif ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara konsisten merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang KUP yang membebankan pembuktian koreksi kepada DJP. Majelis berpendapat bahwa alat uji ekualisasi, meskipun relevan, bukanlah bukti definitif yang kuat untuk menetapkan adanya penyerahan yang terutang PPN di Masa Pajak Januari 2018. Untuk mengesahkan koreksi PPN, DJP wajib menyajikan bukti yang lebih kompeten, seperti Faktur Pajak, invoice, atau delivery order yang secara eksplisit membuktikan transaksi tersebut terjadi dan terutang di Masa Sengketa. Dengan pertimbangan DJP gagal menyajikan bukti konkret per Masa Pajak yang membantah klaim timing difference Wajib Pajak, Majelis memutuskan untuk membatalkan koreksi DPP PPN tersebut. Putusan ini menggarisbawahi pentingnya deep-dive pemeriksaan yang tidak hanya bergantung pada cross-check data secara ekualisasi, tetapi juga harus didukung validitas bukti transaksi.
Implikasi dari putusan ini sangat signifikan bagi Wajib Pajak. Perusahaan yang sering menghadapi isu timing difference (misalnya karena sistem progress billing atau penerimaan uang muka) harus memiliki dokumentasi yang sangat kuat mengenai mekanisme cut-off bulanan dan rekonsiliasi PPN-PPh. Meskipun putusan memihak Wajib Pajak, sengketa ini menjadi pengingat bagi setiap perusahaan untuk memitigasi risiko dengan memastikan penerbitan Faktur Pajak dilakukan tepat waktu sesuai Pasal 13 UU PPN guna meminimalkan risiko sengketa yang berbasis ekualisasi.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini