Koreksi atas Penghasilan dari Luar Usaha sebesar Rp12.796.650.277,00 yang dikenakan oleh DJP kepada PT RPR menjadi penegasan penting bagi Wajib Pajak di sektor perkebunan dan kehutanan. Sengketa ini berfokus pada satu isu krusial: Penentuan subjek pajak yang sah atas penghasilan penjualan kayu dari kegiatan land clearing di areal Hak Guna Usaha (HGU). Pertanyaan utamanya sederhana: apakah dokumen legalitas kehutanan cukup menjadi bukti penerimaan penghasilan, ataukah perlu dibuktikan secara material dalam pembukuan perusahaan?
Sengketa dimulai ketika DJP melakukan koreksi dengan berargumen bahwa sebagai pemegang HGU, PT RPR adalah pihak yang seharusnya menerima penghasilan dari penjualan kayu hasil land clearing. Otoritas pajak memperkuat dalilnya dengan menunjukkan bukti formal seperti Surat Keterangan Sah Hasil Hutan Kayu (SKSHHK) dan bukti pembayaran iuran kehutanan (PSDH dan DR) yang mencantumkan nama perusahaan. Namun, PT RPR mematahkan dalil tersebut dengan membawa pembelaan berbasis substansi transaksi dan pembukuan. Wajib Pajak menegaskan bahwa penghasilan tersebut secara hakikat adalah milik Kontraktor Land Clearing, sementara pencantuman nama PT RPR dalam dokumen kehutanan hanyalah bersifat kewajiban formal sebagai pemegang HGU. Pembelaan krusial PT RPR terletak pada fakta bahwa Terbanding gagal menghadirkan bukti material—seperti bukti transfer dana atau pencatatan di General Ledger—yang menunjukkan adanya penerimaan penghasilan senilai Rp12,7 miliar ke dalam kas atau pembukuan PT RPR.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa koreksi DJP hanya didasarkan pada kesimpulan yang ditarik dari dokumen legalitas luar (SKSHHK dan bukti iuran kehutanan), namun tidak didukung oleh bukti material penerimaan penghasilan oleh Wajib Pajak. Majelis berpendapat bahwa koreksi berdasarkan asumsi tanpa didukung oleh bukti bahwa Wajib Pajak benar-benar menerima atau menikmati penghasilan bertentangan dengan ketentuan UU PPh. Dengan ketiadaan bukti kuat dan kompeten, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding PT RPR dan membatalkan koreksi fiskal senilai Rp12,7 miliar.
Putusan ini menjadi pelajaran penting bagi Wajib Pajak bahwa pembuktian substansi material jauh lebih kuat daripada pembuktian formalitas dokumen. Kemenangan PT RPR menunjukkan bahwa kepemilikan HGU tidak secara otomatis menjadikan perusahaan sebagai subjek pajak atas seluruh hasil land clearing, jika terdapat pihak kontraktor yang secara nyata menerima dan membukukan penghasilan tersebut. Wajib Pajak perlu memastikan perjanjian dan audit trail yang jelas untuk memisahkan kewajiban formal (seperti perizinan kehutanan) dengan penerimaan penghasilan yang sesungguhnya.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini