Sengketa antara PT PSI dan DJP dalam PPh Badan Tahun Pajak 2021 memancarkan isu klasik: koreksi biaya karena masalah administrasi dan penolakan kredit pajak yang didukung bukti otentik. DJP melakukan koreksi atas berbagai pos, termasuk Penyesuaian Fiskal Negatif yang berasal dari anggapan penghasilan PT PSI sebagai penghasilan final, serta koreksi atas biaya entertainment dan telepon seluler. DJP berargumen bahwa biaya entertainment dan telepon seluler tidak layak dikurangkan karena PT PSI dinilai gagal membuktikan bahwa biaya yang dikoreksi tersebut sudah termasuk dan tercakup dalam Daftar Nominatif yang dilampirkan. Lebih lanjut, DJP menolak kredit pajak PPh Pasal 22 pada dua transaksi impor, di mana salah satunya dipertahankan karena pembayaran dilakukan di luar tahun pajak bersangkutan (pasca-audit Bea Cukai), melanggar prinsip matching. PT PSI menolak koreksi tersebut dengan berhasil membuktikan bahwa penghasilan yang dikoreksi DJP adalah penghasilan non-final, sekaligus membuktikan kepemilikan Bukti Potong PPh Pasal 22 yang sah untuk transaksi kedua.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding Wajib Pajak. Majelis mempertahankan koreksi DJP atas Biaya Entertainment dan Biaya Telepon Seluler, Biaya terkait Penghasilan Final, dan PPh Pasal 22 terkait pembayaran di luar tahun pajak—semuanya dikarenakan kegagalan Wajib Pajak dalam memenuhi persyaratan administrasi formal. Di sisi lain, Majelis membatalkan koreksi Penyesuaian Fiskal Negatif (sekitar Rp2,72 Miliar) karena PT PSI berhasil membuktikan bahwa substansi penghasilan tersebut adalah non-final. Majelis juga membatalkan koreksi PPh Pasal 22 sebesar Rp113,52 Juta karena PT PSI mampu membuktikan kepemilikan dan pelaporan Bukti Potong yang sah.
Putusan ini menjadi penegasan penting: substansi tanpa administrasi yang rapi dapat berujung koreksi. Biaya yang wajar dan lazim ditolak karena gagal membuktikan ketercakupan dalam daftar nominatif. Demikian pula, kredit pajak yang substansinya sah dapat ditolak karena kegagalan administrasi waktu. Kegagalan administrasi dan kepatuhan formal ini membuat Majelis mempertahankan koreksi sebesar Rp1,49 Miliar. Sebaliknya, biaya dan kredit pajak dapat dipertahankan selama Wajib Pajak menyimpan dan mampu menyajikan bukti administrasi yang otentik dan kuat, menunjukkan bahwa kepastian hukum dan pembuktian formal adalah penentu akhir sengketa.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini