DJP melakukan koreksi atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN dengan menilai bahwa invoice reimbursement antara PT MOI dan afiliasinya mengandung penyerahan jasa yang terutang PPN. Argumen DJP didasarkan pada temuan bahwa invoice tersebut menagihkan biaya gaji dan akomodasi atas nama karyawan/teknisi afiliasi yang bekerja untuk kepentingan satu grup. Berdasarkan informasi tersebut, DJP menyimpulkan bahwa seluruh reimbursement merupakan “penggantian” yang menjadi objek PPN dan harus dipungut sendiri.
Sebaliknya, PT MOI menegaskan bahwa transaksi tersebut merupakan pure reimbursement. Biaya pokok dicatat bukan sebagai pendapatan, melainkan sebagai piutang yang akan ditagihkan kembali at cost kepada afiliasi. Sementara itu, administration fee sebesar 8% ditagih melalui invoice terpisah, diakui sebagai pendapatan, dan dipungut PPN. Dengan struktur ini, PT MOI berperan semata sebagai perantara pembayaran (pass-through), bukan pemberi jasa atas komponen biaya pokok.
Pola pembukuan PT MOI memiliki konsistensi dengan mencatatkan biaya yang timbul dicatat sebagai piutang sementara kemudian di akhir bulan dilakukan reklasifikasi ke akun piutang utama untuk ditagihkan dan Ketika saat menagih fee 8%, PT MOI menerbitkan Faktur Pajak atas fee tersebut. Ketika pembayaran diterima, pencatatan PT MOI memisahkan antara pelunasan piutang biaya pokok dengan PPN atas fee, sehingga alur “talangan-tagih kembali” terlihat jelas dalam pembukuan.
Pembuktian dalam persidangan memperkuat argumentasi PT MOI. Dengan membuktikan bahwa biaya pokok tercatat sebesar Rp144.668.548, administration fee 8% sebesar Rp11.573.456, dan PPN atas fee Rp1.157.346. Seluruh nilai muncul berurutan dalam catatan penerimaan, menunjukkan bahwa hanya fee yang merupakan objek PPN, bukan biaya pokok yang ditagihkan at cost.
DJP menilai keberadaan dokumen pihak ketiga atas nama PT MOI dan terdapat Pajak Masukan yang dikreditkan, serta adanya fee sebagai satu kesatuan paket jasa merupakan Objek DPP PPN. Namun Majelis berpendapat lain, dengan narasi operasional menunjukkan bahwa biaya tersebut muncul karena reimbursement biaya gaji, dan PT MOI hanya menalangi gaji tersebut serta biaya perjalanan pegawai yang ditugaskan membantu proyek tersebut tanpa mark-up. Fee 8% berdiri sendiri sebagai imbalan administrasi atas proses reimbursement dan sudah dipungut PPN. Dengan demikian, keberadaan fee tidak otomatis menjadi DPP PPN karena keduanya memiliki karakter ekonomi yang terpisah.
Majelis menimbang bahwa bukti akuntansi menunjukkan tidak ada penyerahan BKP/JKP pada biaya pokok karena pembebanan hanya pelimpahan biaya pihak ketiga yang ditalangi. Kedua, PPN telah dipungut atas margin administrasi, sehingga apabila biaya pokok juga dipajaki akan timbul pengenaan ganda yang bertentangan dengan prinsip PPN. Karena itu, koreksi DPP PPN atas reimbursement tidak dapat dipertahankan. Majelis menegaskan bahwa jenis biaya yang direimburse—tiket pesawat, tol, parkir, pulsa, sewa, BPJS, Jamsostek, medical outpatient, gaji, dan asuransi karyawan—termasuk jasa yang dikecualikan dari objek PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) UU PPN. Artinya, sekalipun biaya tersebut sempat muncul di PT MOI, secara substansi bukan objek PPN pada saat dilakukan reimbursement at cost.
Implikasi praktis bagi Wajib Pajak dalam putusan ini Adalah diperlukan adanya pemisahan yang jelas antara biaya pokok yang ditagihkan at cost dan fee administrasi yang menjadi objek PPN harus didokumentasikan secara tepat.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini