PT PL terlibat dalam sengketa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mempertanyakan perlindungan hukum bagi pembeli yang telah patuh. Isu sentralnya adalah koreksi Pajak Masukan (PM) atas Faktur Pajak (FP) yang dibatalkan secara sepihak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual melalui sistem e-Faktur. DJP berpendapat bahwa pembatalan tersebut menghilangkan keabsahan formal dokumen, sehingga PM tidak sah untuk dikreditkan.
Inti konflik ini mengadu kepatuhan formal administrasi melawan keadilan material transaksi. DJP bersikeras pada keguguran hak kredit karena cacat formal, namun PT PL membantah keras. Pemohon Banding dapat menunjukkan bukti yang tak terbantahkan bahwa Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) telah diterima, dan yang paling krusial, PPN telah dibayar kepada Penjual. Bantahan ini secara strategis bersandar pada Pasal 16F Undang-Undang PPN mengenai tanggung jawab renteng, yang menegaskan bahwa tanggung jawab Pembeli akan gugur jika ia dapat membuktikan pembayaran PPN.
Dalam resolusinya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara eksplisit memihak pada keadilan material. Majelis menegaskan bahwa Pemohon Banding telah memenuhi kewajiban substansialnya sebagai Pembeli. Pembatalan sepihak oleh Penjual—yang merupakan kesalahan atau risiko administrasi Penjual—tidak boleh menghilangkan hak pengkreditan PM Pembeli yang jujur dan telah melunasi kewajibannya. Majelis memutuskan untuk membatalkan koreksi DJP pada pos ini. Analisis ini membawa implikasi signifikan: Pengadilan Pajak akan memberikan perlindungan kepada PKP Pembeli yang dapat menyediakan bukti lengkap atas arus uang dan arus barang, menegaskan bahwa formalitas tidak selalu mengalahkan substansi dalam kasus PPN.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini