Perselisihan antara PT IPM dan DJP bermula dari koreksi PPh Pasal 23 atas pencatatan impairment plasma yang oleh DJP dianggap sebagai imbalan jasa. Dalam SKP, DJP menetapkan DPP sebesar Rp47.185.038.541,00 yang diperlakukan sebagai objek pemotongan PPh 23. PT IPM menolak koreksi tersebut karena impairment merupakan penurunan nilai aset secara akuntansi yang tidak mencerminkan transaksi jasa, tidak menimbulkan arus kas, dan tidak melibatkan hubungan hukum dengan pihak mana pun. Perbedaan penafsiran mengenai substansi impairment inilah yang menjadi inti sengketanya.
Menurut DJP, transaksi impairment tersebut menunjukkan adanya manfaat ekonomis yang diterima oleh pihak lain sehingga layak diperlakukan sebagai objek PPh Pasal 23. Dengan demikian, PT IPM dianggap telah lalai melakukan pemotongan atas jasa yang dikategorikan sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan selain pekerjaan bebas, sebagaimana diatur dalam ketentuan PPh Pasal 23.
PT IPM menolak koreksi tersebut dan menegaskan bahwa impairment plasma bukan merupakan transaksi jasa, tidak melibatkan pemberian manfaat ekonomi kepada pihak lain, serta tidak mengandung transfer nilai yang dapat dianggap sebagai objek pemotongan. Impairment adalah penurunan nilai aset yang bersifat akuntansi, sehingga tidak menimbulkan arus kas maupun transaksi hukum antar pihak. PT IPM juga menegaskan bahwa tidak ada perjanjian jasa, tidak ada penyerahan jasa, tidak ada penerima imbalan, dan tidak ada hubungan komersial yang dapat dikualifikasikan sebagai objek PPh Pasal 23. Dengan demikian, koreksi DJP dianggap tidak memiliki dasar faktual maupun yuridis.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak sependapat dengan PT IPM. Dalam pertimbangannya, Majelis menilai bahwa impairment plasma tidak memenuhi unsur jasa, tidak memiliki karakter transaksi yang menimbulkan penghasilan bagi pihak lain, serta tidak dapat diperlakukan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23. DJP tidak mampu menunjukkan bukti yang cukup bahwa impairment tersebut merupakan imbalan jasa. Seluruh argumentasi koreksi dinilai hanya bersifat asumtif dan tidak didukung dokumen yang relevan.
Majelis menegaskan bahwa pembebanan pajak harus didasarkan pada transaksi nyata dan hubungan hukum yang jelas, bukan sekadar interpretasi tanpa dasar. Karena beban pembuktian tidak terpenuhi, Majelis mengabulkan seluruh permohonan banding PT IPM. Dengan demikian, koreksi PPh Pasal 23 sebesar Rp47.185.038.541,00 dinyatakan tidak benar dan dihapuskan seluruhnya.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini